Sabtu, 26 Maret 2011

Kisah Pak Hoegeng Imam Santoso (eks-Kapolri) era 1968-1971

Hoegeng lahir di Pekalongan 14 Oktober 1921.
Nama pemberian ayahnya adalah Iman Santoso. Waktu kecil dia sering dipanggil bugel (gemuk), lama kelamaan menjadi bugeng, dan akhirnya berubah jadi hugeng. Setelah dewasa bahkan sampai tua, dia tetap kurus.

Polisi yang tegak berprinsip

Ayahnya adalah seorang jaksa. Setelah sekolah di HIS dan MULO Pekalongan dia belajar di AMS A Yogya, bagian Klasik Barat. Soedarpo Sastrosatomo (pengusaha perkapalan Samoedera Indonesia), yang ketika itu pelajar AMS B Yogya, bercerita tentang sebuah rumah kos di Ngupasan. Di sana tinggal beberapa anak liar (wilde jongens), seperti Imam Pamoedjo dan Hoegeng. Mereka membentuk sebuah band Hawaian. 
 Dengan musik Hawaian, Hoegeng bermain di Sositet, di Radio Mataram, di NIROM, untuk mendapat tambahan karena ayahnya hanya mengirimkan 7,50 gulden per bulan.

 SETAMAT AMS A, Hoegeng menjadi mahasiswa Sekolah Hukum Tinggi (Rachts Hoge School/RHS) Batavia. Dalam perkumpulan mahasiswa USI (Unitas Studiorum Indonesiensis), dia berkenalan baik dengan sesama mahasiswa, Soebadio Sastrosatomo, Hamid Algadri, Chaerul Saleh, Soedjatmoko, Soedarpo Sastrosatomo, dan Subandrio. Karena perang pecah, studi Hoegeng terkapar. Di zaman pendudukan Jepang, dia masuk Sekolah Polisi Sukabumi dan setelah Republik Indonesia berdiri dia terus berkutat di dunia kepolisian. Bulan Februari 1947, sebagai Pemimpin Redaksi Siasat.

Karier Hoegeng berkembang. Dia dikirim belajar ke Amerika Serikat, ditugaskan di Jawa Timur, tahun 1956 diangkat sebagai Kepala Reserse dan Kriminal Sumatera Utara di Medan yang “kesohor” sebagai tempat pedagang Tionghoa punya hobi menyuap pejabat-pejabat. Namun Hoegeng tidak bisa disuap, seorang pejabat baru kepolisian bikin geger. Seorang Kepala Reskrim baru pindahan dari Jawa Timur, menolak keras hadiah dari para cukong. Padahal nilainya menggiurkan. Perabotan luks dikirim ke kediaman Reskrim baru tersebut. Kota itu memang marak dengan kisah para cukong penyelundupan yang makmur juga tebaran lapak judi dimana-mana. Kiriman itu bahkan dibuangnya di pinggir jalan. Kita pada akhirnya mencatat, siapa sosok nekad tersebut. Namanya Hoegeng Imam Santoso. Kelak nama itu kita kenang sebagai tonggak kejujuran yang sederhana. Berbanggalah Kepolisian Republik ini, mempunyai tokoh komplet seperti Pak Hoegeng. Kiriman sogok itulah yang dimaksudkan untuk membungkam aparat. Tapi kali ini meleset, si aparat baru meradang karena di sogok. Di tengah dunia judi, smokkel, korupsi, dan rayuan wanita cantik, dia kokoh sebagai polisi yang jujur dan lurus, an honest and straight cop.

Bahkan saking sederhananya. Lepas dari Medan, Pak Hoegeng kembali ke Jakarta. Karena belum dapat rumah tinggal, dia menumpang di garasi mertuanya di daerah Menteng. Padahal dia bekas Kepala Reskrim. Teramat langka memang sikap hidup seperti Pak Hoegeng. Beragam tugas pernah diemban, bapak yang dikarunia tiga anak tersebut diluar dari tugasnya sebagai polisi.

PADA awal 1960 Hoegeng diangkat sebagai Kepala Direktorat Reskrim Mabes Polisi, tetapi dibatalkan, lalu ditarik ke Mabak. Mengapa sampai begitu? Hoegeng bercerita pembatalan itu karena ada yang melaporkan kepada Bung Karno (BK) bahwa Hoegeng anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI). Lalu dia menemui BK di Istana untuk menjernihkan persoalan. BK bilang, “Tapi kamu kan kenal Soedjatmoko, Soebadio Sastrosatomo, PSI toh?” “Lha, iya kenal, wong kita satu sekolah kok, AMS A Yogya dan RHS. Tapi saya tak masuk PSI kok, boleh periksa.” BK menatap saya, lalu ketawa. “Beres, beres kalau begitu,” kata BK. Hoegeng diangkat sebagai Kepala Jawatan Imigrasi dan dalam Kabinet Seratus Menteri sebagai Menteri Negara Urusan Iuran.

Tahun 1968 Presiden Soeharto mengangkat Hoegeng sebagai Kepala Polri menggantikan Soetjipto Yudodihardjo. Masa itu kasus penyelundupan merajalela. Yang terkenal ialah kasus penyelundupan mobil mewah yang didalangi Robby Tjahyadi atau Sie Tjie It. Tahun 1969 penyelundupan tersebut dideteksi polisi. September 1971 Hoegeng mengumumkan kepada masyarakat tentang usahanya yang berhasil membekuk penyelundupan mobil mewah lewat Pelabuhan Tanjung Priok.

Hoegeng bukannya diberi pujian, melainkan beberapa hari kemudian dia dipecat sebagai Kepala Polri. Sebelum itu Hoegeng mendapat tawaran untuk menjabat sebagai Duta Besar di Belgia melalui Menhankam Jenderal M Panggabean. Hoegeng masih dipanggil Soeharto. “Lho bagaimana, Mas, mengenai soal Dubes itu?” tanya Soeharto. “Saya tak bersedia jadi dubes, Pak,” jawab saya. “Tapi, tugas apa pun di Indonesia, akan saya terima.” Presiden bilang, “Di Indonesia tak ada lagi lowongan, Mas Hoegeng.” Maka saya pun langsung nyeletuk, “Kalau begitu, saya keluar saja.” Mendengar itu ia diam. Saya juga diam. Mau ngomong apa lagi? Setelah kurang lebih setengah jam pertemuan, saya pun pamit, kata Hoegeng.

Ketika Rapat Pimpinan ABRI di Pekanbaru, 27 Maret 1980, Presiden Soeharto yang berbicara tanpa teks yang telah disiapkan mengatakan, ABRI harus memilih sebagai mitranya mereka yang membela Pancasila dan UUD 1945. Tiga minggu kemudian pada HUT Kopassandha, beberapa orang sipil seperti Mohammad Natsir, Burhanuddin Harahap, dan Syafruddin Prawiranegara berkumpul untuk menyusun sebuah petisi yang disampaikan kepada DPR, 13 Mei 1980. Lahirlah Petisi 50 yang mengkritik Soeharto karena menafsirkan Pancasila begitu sempit dan mempromosikan kerja sama ABRI dengan Golkar, sedangkan seharusnya ABRI ada di atas semua partai. Petisi 50 menimbulkan amarah Soeharto. Orang yang dicap sebagai Petisi 50 menjadi non-person, dipencilkan dari arus pergaulan sosial. Mulai dari Mei 1980 itulah Pak Hoegeng bergabung dalam kelompok petisi lima puluh. Sebuah kelompok yang menyuarakan keprihatinan terhadap tindak-tanduk penyelenggaraan kekuasaan negara saat itu. Dalam kelompok tersebut memang bergabung beberapa pensiunan pejabat polisi dan militer, disamping tokoh-tokoh sipil lainnya. Seperti Letjen Marinir (Purn) Ali Sadikin dan HR. Darsono, Mantan Pangdam Siliwangi.

Pak Hoegeng, yang tadinya ikut dalam band Hawaian Seniors yang biasa bermain di TVRI dan Radio Elshinta dan digemari publik, gara-gara menandatangani Petisi 50 harus menghentikan siaran. Ucapannya pada akhir siaran Aloha tidak terdengar lagi. Lagu-lagu yang didendangkan, seperti Hawaii Calls, On The Beach of Waikiki, I’m in The Mood for Love, menjadi sunyi senyap. Pria yg pernah dinobatkan sebagai The Man of the Year 1970 ini pensiun tanpa memiliki rumah, kendaraan, maupun barang mewah. Rumah dinas menjadi milik Hoegeng atas pemberian dari Kepolisian. Beberapa kapolda patungan membeli mobil Kingswood, yg kemudian menjadi satu-satunya mobil yg ia miliki.



 Jakarta 14 Juli 2004

Tanggal 14 Juli 2004 pukul 00.30, mantan Kepala Polri itu meninggal dunia akibat stroke. Dirinya ingin dimakamkan di pemakaman biasa. Pada akhirnya, TPU Giritama, Desa Tonjong, Bojong Gede, Bogor, dipilih sebagai tempat peristirahatannya terakhir. Sekitar pukul 14.00 WIB, jenazah Jenderal ringkih menyatu dengan tanah. Sudah habis tugas kesejarahannya. Yang tertinggal mungkin cuma jejak. Mudahan-mudahan ingatan bangsa tidak dikalahkan lupa, bahwa bangsa ini pernah memiliki polisi yang tahu arti kejujuran. Hoegeng Iman Santoso akan dikenang terus sebagai putra Indonesia yang turut berjuang untuk Indonesia Merdeka, manusia yang jujur, adil, setia pada prinsip etik yang dianutnya. Semoga Tuhan menerima arwah Mas Hoegeng di sisi-Nya. Amiiiinnnnnnn........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Saya

Foto saya
Megono, Jateng, Indonesia
Kasih Sayang dan Cinta Itu Telah Mengubah Sikapnya untuk berbuat yang baik